Kamis, 01 November 2012

Bermasa Diantara Titik Pijar 3 Langit.

Jujur, judul postingan kali ini agak berat so isi ceritanya pun bakal gua bikin agak susah untuk dipahami, jahat banget ya gw? Markimul, artinya mari kita mulai.

Di teduhnya suasana sore hari Seekor Burung sedang bercengkrama di indahnya langit senja, masih mencoba mencari tau apa yang dia fikirkan saat ini. Sang Burung dengan segala kelemahannya berharap pada Hujan sore ini yang ia lihat melalui munculnya mendung. Hujan, seorang kekasih yang dia rindukan kehadirannya karena Hujan tersebuat memiliki jarak yang amat jauh dengannya sekarang. Langit  Senja yang berwarna merah jingga baru saja menyapanya dengan senyuman lelah karena ia baru saja selesai menemani Siang yang terik dan panas. Sang Burung bergumam dalam hatinya "Sial aku terjebak" tegasnya yang mengartikan beatapa kesalnya ia saat itu karena selain ia tersesak karena kerinduannya terhadap Hujan dan sekarang ia harus menerima celotehan Awan tentang Langit Senja kali ini. Namun tetap sang Burung mencoba untuk tetap mengerti bahwa sang Langit Senja hanya mempunyai sang Burung untuk bersama menumpahkan ceritanya.

Dahulu, sang Burung begitu takut namun sedikit mengagumi Langit Senja dan keindahan dibaliknya, namun sejak Hujan datang membawa teduhnya dan sejuknya Sore sedikit demi sedikit sang Burung melupakan kehadiran Langit Senja. Burung-burung yang lain menatap sang Burung sinis dan penuh dengan ketidak sukaan atas sikapnya yang diluar kebiasaan. "Aku mengenalmu Senja, dulu aku mengenalmu" ucap sang burung. Namun langit Senja hanya bisa terus tersenyum sambil berbisik dengan ceritanya. Hujan memang teramat jauh sampai-sampai ia berharap pada tuhan untuk mengantarkan Hujan di setiap sorenya. Karena hanya Hujan lah yang ia butuhkan kehadirannya walaupun banyak hal lain yang sang burung inginkan dan akhirnya setelah Langit Senja puas akan ceritanya lalu ia pergi. Sang burung kembali berucap dalam dirinya "Sial! Memang aku sial. Aku hanya hadir di saat Senja membutuhkan ku, tak lebih".

Mentari pun semakin turun menuju garis laut barat di depan mata sang Burung, Mentari lalu memberikan salamnya untuk sang Burung "Heii kau yang di sana" ucap sang Mentari "Ya, aku" saut sang Burung, "Marilah kukenalkan kau pada Malam hari yang akan segera datang sebentar lagi" sambut Mentari. Sang burung pun terdiam dan hanya bisa mengangguk, Malam? Malam yang sudah ia ketahui bahkan semasa ia masih berbentuk telur. Ia mengetahuinya, pikir sang Burung namun sang Burung belum mengenalnya karena menurutnya Malam memiliki kehidupannya sendiri dan ia hanya mendengarkannya melalui penjaman mata.
Akhirnya Malam pun datang, yang ia hanya bisa lakukan saat itu hanya terdiam dan berlaku seperti ia pada biasanya, Malam itu indah ketika ia membuka mata menurutnya. Sekejap ia terkesima dengan keteduhan dan kedekatan Malam yang sampai saat ini pun ia bingun mengapa kiranya. Malam, Malam denga segala ketenangannya mencoba tersenyum kepada sang burung dari jarak yang amat jauh, karena Malam pun tidak mengenal sang Burung pada gelap hari. "Mengapa ia selalu memiliki keadaan dunia luar sepertiku?" Tanya sang Burung dalam hati. Selebihnya, Malam hanya bisa menunjukan ketertarikannya terhadap sang Burung
yang baru saja ia lihat dengan cara tersenyum dan tersenyum dengan
indah di gelapnya. Semakin sang Burung tersadar, ia mulai memikirkan apakah ia membutuhkan Malam, sepertinya ya menurutnya. Positif semua itu terjadi hanya setelah petang hari Mentari turun. Semakin dan semakin sang Burung memikirkan, ia tetap mencoba untuk meyakinkan diri bahwa yang ia butuhkan adalah Hujan yang meluruhkan semua beban di ujung paruhnya dan di setiap helai bulunya.

Sang Burung mengakhiri lamunannya dengan sebuah makian dalam hati  "Sial, sial dan sial aku kembali terjebak untuk bermasa diantara titik pijar 3 langit, sial!" ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar